"Mas, aku minta cerai sekarang juga!" pekik Midah dari ruang tamu.
Aku terheran dengan sikap Midah, bagaimana mungkin dia meminta cerai pada suaminya sendiri padahal aku baru saja menginjakan kaki di ambang pintu.
"Kamu kenapa, Mid? suami baru pulang kerja malah minta cerai."
"Pokonya aku mau cerai titik, aku bosan hidup miskin terus Mas! bahkan ibuku juga merestui kalau misalkan kita bercerai."
Dadaku bergemuruh menahan kesabaran menghadapi sikap midah, bagaimana mungkin ibu mertuaku bisa mengizinkan anaknya bercerai hanya karena dia bosan hidup miskin.
"Mid, kita itu harus sabar! Mas juga sedang berusaha untuk membuat hidup kita jauh lebih baik, apa kamu tida bisa sedikit lagi bersabar?" sergahku sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.
"Sabar, sabar, dari dulu aku sudah sabar, Mas!"
Ibu mertuaku tergopoh-gopoh datang dari belakang rumah, mungkin habis mengangkat jemuran karena ditangannya ada beberapa helai baju.
"Akmal, sudahlah kamu turuti saja maunya Midah! lagipula setelah berpisah dari kamu, ibu akan menjodohkan Midah dengan anaknya Pengusaha Restoran bebek." Celetuk ibu mertuaku.
Tanganku mengepal sempurna sampai jarinya semua memutih, kekonyolan macam apa ini?
"Bu, selama ini aku selalu sabar menghadapi kalian berdua. Aku selalu berusaha membuat kebutuhan kalian terpenuhi, bahkan tak jarang aku bekerja siang dan malam hanya untuk melihat kalian makan enak! apa itu belum cukup?"
"Mas, sudahlah jangan membicarakan kebaikan kamu terus! lagipula itu 'kan kewajiban kamu buat bahagiain aku. Mendingan sekarang kamu pergi dari rumah ini, sebentar lagi Rizal-anak pengusaha bebek-akan segera kesini." Pungkas Midah seraya berjalan ke dalam kamar.
Ibu mertuaku memandangku dengan tatapan sinis dan menyusul Midah masuk kamar.
Aku duduk di kursi rotan yang sudah sedikit reyot di makan usia, memijat pelipisku yang tiba-tiba saja berdenyut.
Merreka berdua keluar lagi dari kamar dan melemparkan tas ransel ke arah kakiku.
"Itu semua baju kamu, Mas! silahkan pergi dari rumah ini, dan hari ini juga kamu harus talak aku."
Aku mengambil nafas dalam, menetralkan amarah yang sudah di puncak ubun-ubun.
"Baiklah, jika itu mau kamu! saat ini juga aku jatuhkan talak pertamaku untukmu, jangan salahkan aku jika suatu saat kamu ingin kembali maka aku tidak akan menerimamu."
"Itu tidak akan pernah!" segan Midah dengan tatapan menghina.
Aku meraih tas ransel dan keluar dari rumah itu, ya memang aku menumpang di rumah ibu mertuaku. Rumah warisan dari bapakku sudah aku jual demi membahagiakan Midah dan ibunya.
Lima tahun ini aku kerja banting tulang, tapi sekarang dengan mudahnya mereka mengusirku.
Kalian berdua tak lebih dari lintah darat!
Akan ku balas sakit hatiku ini, jika suatu saat aku menjadi kaya. Kalian adalah orang yang pertama akan aku cari, bukan untuk kembali tapi untuk membalas sakit hatiku.
Seminggu berlalu kini aku dan Midah berada di pengadilan agama, keputusan hakim mengabulkan permintaan Midah dan akhirnya kami bercerai.
Sekilas aku melihat wajah Midah berbinar, nampak jelas dia begitu bahagia dengan keputusan hakim.
Aku berjalan melewati mereka tanpa sepatah kata,
Mantan ibu mertuaku mencibirku dengan sedikit mengeraskan suaranya.
"Udah gak punya, sombong lagi! dasar mantan menantu gak tau di untung." Hardiknya padaku.
****
Satu tahun berlalu, aku menginjakan kaki di tempat ini lagi. Melihat sekeliling dari pinggir mobil Pajero milikku, sekarang aku adalah arsitek terkenal yang merencanakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Tanpa sengaja aku datang ke sini, niatnya ingin melihat tanah yang di tawarkan oleh salah satu warga di sekitar sini, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang hanya memakai batu besar yang di bagi beberapa bagian.
Tatapanku melihat seorang perempuan yang sedang menimang seorang anak sambil menyanyikan lagu Nina Bobo, ya, dia Midah!
"Mid!"
Midah memalingkan wajahnya Padaku, kini raut wajahnya berubah menjadi pucat pasi.


Posting Komentar
Posting Komentar